Ketika Intelektualitas Guru Diragukan

Pada posting kali ini akan admin bagikan Sebuah tulisan dari seorang guru Sekolah Menengah Atas (SMA) Olahraga Negeri Sriwijaya Palembang. Tulisan beliau memang sangat bermanfaat untuk dibaca, maka dari itu admin juga mempublikasikannya melalui blog ini. Apa yang dituliskan beliau patut jadi pertimbangan kembali bagi pemerintah bahwa segala program dan kebijakan pendidikan yang dibuat haruslah disesuaikan dengan keadaan fasilitas di setiap daerah, apakah memadai atau tidak. selain itu juga apakah dengan beban mengajar 24 jam semua guru bisa menjalankan program yang disebut guru pembelajar. Nah, untuk lebih jelasnya langsung saja kita baca tulisan beliau.

gambar penulis artikel Ketika Intelektualitas Guru Diragukan

ditulis oleh: Oleh: Hj. Rita Rahmawati, M.Pd.
DUNIA pendidikan kita saat ini “katanya” tengah berbenah. Setelah Kurikulum, yang hingga kini belum jelas pelaksanaannya, kini pembenahan diarahkan pada kemampuan guru sebagai tenaga pendidik. Dimulai dengan pengadaan ujian kemampuan guru (UKG) yang dilaksanakan melalui sistem komputerisasi di daerah masing-masing.

Ujian kemampuan guru ini menampilkan beberapa soal yang mengarah pada 10 kemampuan yang harus diselesaikan guru. Setiap soal mempunyai bobot nilai tersendiri. Guru yang telah menyelesaikan soal-soal UKG dapat langsung melihat nilai ujiannya. Selanjutnya, guru mendapatkan “raport” UKG melalui akses internet. Di dalam “raport” tersebut ditampilkan 10 kemampuan guru. Berdasarkan nilai “raport” tersebut, guru diklasifikasikan dalam beberapa kategori untuk mengikuti program Guru Pembelajar. Program Guru Pembelajar adalah upaya Pemerintah, dalam hal ini Direktorat GTK Kemdikbud, menyediakan fasilitas publik untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru Indonesia secara berkesinambungan.

Melalui program Guru Pembelajar, guru akan mendapatkan materi pelatihan dan pendidikan sesuai dengan bidang mata pelajaran keahlian masing-masing yang dibina oleh para tenaga ahli dari P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Program Guru Pembelajar yang dimaksud adalah (1) jika mendapatkan nilai merah 3 hingga 5 dari 10 kemampuan, guru harus mengikuti model Guru Pembelajar moda daring (online) yaitu salah satu model yang memberdayakan teknologi informasi (internet) dalam pembelajarannya. (2) jika mendapatkan nilai merah 6 hingga 7 dari 10 kemampuan, guru harus mengikuti model guru pembelajar kombinasi antara pelatihan dan moda daring, (3) dan jika mendapatkan nilai merah 8 hingga 10, guru harus mengikuti pelatihan/tatap muka.

Yang menjadi pertanyaan, apakah kebijakan baru Pemerintah ini memang nantinya dapat meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru Indonesia? Apakah upaya Pemerintah ini efisien dan efektif untuk peningkatan mutu pendidikan di Indonesia? Allahualambissawab Yang pasti, saat ini sudah ada sebagian guru di Indonesia yang “direpotkan”dengan program teranyar Pemerintah ini. Guru harus siap dengan laptop soft ware dan hard ware beserta perangkat internet. Guru juga harus menyediakan waktu yang cukup untuk memahami materi pembelajaran, yang diperkirakan sekitar 200 halaman/modul. Guru juga harus menyelesaikan tugas-tugas pada setiap modul dan harus menyelesaikan tes sumatifnya. Guru juga harus bisa mengakses internet dengan baik untuk melakukan chatting, video call, dll. Guru juga harus … entah apa lagi yang lainnya. Dan, kabarnya program ini akan berlangsung terus hingga guru tidak memiliki merah lagi. Lucunya, apabila guru pada UKG pertama tidak merah, lalu UKG selanjutnya merah, guru tersebut harus mengikuti program Guru Pembelajar sesui dengan jumlah merah yang didapatnya. Terus secara berulang. Aduh.

Persoalannya kini, dengan beban mengajar 24 jam/minggu apakah guru di Indonesia memiliki waktu dan kemampuan untuk itu? Coba bayangkan, untuk mendapatkan beban mengajar 24 jam/minggu, guru yang hanya memegang 2 jam/minggu untuk satu kelas, harus mengajar 12 kelas. Dalam satu kelas guru harus menghadapi sekitar 30--40 siswa. Jadi, dalam satu minggu guru di Indonesia harus menghadapi sekitar 360—480 siswa jika beban mengajarnya 2 jam/minggu.

Bukan hanya mengajar di muka kelas saja tugas seorang guru, tetapi juga dia harus menyelesaikan administrasi, seperti menyiapkan perangkat pembelajaran, membuat soal, mengoreksi tugas-tugas siswa atau ulangan, melakukan penilaian. Belum lagi menyelesaikan pendataan-pendataan sehubungan dengan data sertifikasi atau data kepegawaian, dan lainnya. Kalau demikian, ternyata menjadi guru tidaklah mudah. Padahal, guru juga manusia yang mempunyai kebutuhan untuk mengurus keluarga dan dirinya. Guru juga anggota masyarakat yang harus berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Mencermati pidato Anies Baswedan, pencetus program Guru Pembelajar ketika menjadi Menteri Pendidikan RI yang kini telah digantikan Muhajir Efendi, guru diharapkan dapat terus belajar dan mengenal teknologi. Namun, apakah tidak terlalu berlebihan? Kalau memang banyak yang mendapat nilai merah ketika mengikuti UKG, apakah memang itu sudah menjadi tolak ukur untuk menyatakan bahwa guru di Indonesia banyak yang bodoh? Siapa yang salah, guru, lembaga pendidikan pencetak guru atau Pemerintah? Hal yang terasa penting, apakah program Guru Pembelajar ini memang akan berlangsung terus hingga guru di Indonesia “pintar” atau akan hilang menguap dengan alasan ketiadaan dana? Sekali lagi, Allahualambissawab. (*)

Guru SMA Olahraga Negeri Sriwijaya, Palembang

Demikian info terbaru bagi guru indonesia yang bisa admin bagikan.

sumber: http://sumeks.co.id/index.php/metropolis/budaya-opini/21876-ketika-intelektualitas-guru-diragukan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel