Soal & Jawaban Simulasi aktivitas 2 Seri Literasi Numerasi

Salam literasi dan numerasi kepada bapak/ibu pengunjung blog guru-id.com, oke pada kesempatan ini guru-id akan berbagi soal dan jawaban pertanyaan pertama pada kegiatan Simulasi aktivitas 2 Seri Literasi Numerasi.

disclaimer : jawaban yang guru-di sajikan pada laman ini hanya untuk perbandingan dan referensi saja, agar teman-teman peserta bimtek dapat bereksplorasi.

Stimulus

Menelusuri literasi masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang, melampaui peluncuran pertama kali UNESCO pada tahun 1946 mengenai global literacy effort. Menurut para arkeolog, filolog dan antropolog bahwa literasi tulis-menulis di nusantara sudah berkembang mulai abad 5 masehi sejak kehadiran Hindu dan Budha serta tercatat di abad 13 ketika agama Islam datang. Di masa Hindu dan Budha sudah dikenal bahasa Sansekerta dan aksara Pallawa, di era Islam berkembang bahasa Arab dengan aksara Arab-Jawa dan Arab-Melayu. Bahkan berdasarkan penuturan beberapa arkeolog, literasi (dalam artian literasi gambar) telah ada pada masa pra sejarah ribuan tahun yang lampau. Berdasarkan keterangan Indonesianis dari Universitas Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia mengatakan, Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis juga sudah muncul sejak berabad-abad silam. Menurutnya, karena sudah memiliki kekayaan tradisi lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan tertentu atau untuk tujuan khusus. Penulisan untuk penyebaran agama merupakan salah satunya. Putten menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda antara tempat satu dengan tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di Jawa, misalnya, merupakan perpaduan tulisan dan gambar di daun lontar dan daun palem, yang terbatas dilakukan oleh anggota kerajaan di Jawa. Berbeda dengan tradisi menulis di Sumatera Selatan yang banyak berupa puisi dan surat cinta, disebabkan hubungan pria dan wanita di sana dahulu sangat diatur ketat (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015). Ditinjau dari perspektif ini maka masyarakat nusantara dan bangsa Indonesia secara empirik tidak dapat dipungkiri telah tumbuh dan berkembang literasinya (Suprajogo, 2020).

Literasi pada mulanya lebih diartikan sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf ataupun bisa membaca. Sehingga pada fase-fase awal, literasi secara umum selalu diidentikkan dengan kemampuan membaca. Dalam perkembangan berikutnya, dimaksudkan literasi adalah suatu kemampuan untuk membaca dan menulis. Literasi ini -plus kemampuan menghitung- sering diistilahkan sebagai literasi dasar (basic literacy). Seiring dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, apatah lagi di era digital saat ini, maka konsep dan definisi serta pemaknaan literasi kian kompleks dan variatif. Dari 6 (enam) macam literasi dasar yang diperkenalkan oleh World Economic Forum (WEF) hingga literasi untuk kesejahteraan (functional literacy dalam istilah UNESCO di tahun 1965). Dari pengertian literasi di tahun 1957, UNESCO menyebutkan bahwa seseorang dapat disebut literat apabila bisa memahami, baik dengan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana yang singkat tentang kehidupannya sehari-hari hingga literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, mengkomunikasikan, dan menghitung, menggunakan materi cetak dan tertulis yang terkait dengan berbagai konteks (UNESCO, 2004, 2017). Bahkan lebih jauh konsep literasi dalam perkembangannya adalah menekankan pada pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan. Literasi melibatkan suatu rangkaian kesatuan pembelajaran dalam memampukan individu-individu untuk mencapai tujuan-tujuan mereka, mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, serta berpartisipasi secara penuh di dalam komunitas mereka dan masyarakat luas (UIS, UNESCO, 2018).

Berangkat dari variasi dan perkembangan konsep, definisi dan pemaknaan literasi setidaknya dari yang dikemukakan UNESCO dari tahun ke tahun, tentu ketika disebutkan bangsa tertentu adalah rendah literasinya maka harus dibatasi dan disepakati terlebih dahulu konsep, definisi dan makna literasi yang dimaksud. Penentuan konsep, definisi dan pemaknaan literasi ini sangat menentukan parameter, variabel dan indikator-indikator yang akan dipergunakan apabila untuk mengukur tingkat literasi misalnya. Paradigma dan perspektif yang lebih luas dalam mendefinisikan dan memaknai literasi ini membantu sekali dalam memahami secara proporsional sebuah masyarakat itu literat atau tidak. Terdapat 3 (tiga) fitur kunci terkait definisi literasi UNESCO seperti disebutkan oleh Montoya (2018) yaitu:

Literasi adalah tentang penggunaan yang mana masyarakat menjadikannya sebagai sarana berkomunikasi dan berekspresi, melalui berbagai media;

Literasi bersifat jamak, dipraktikkan dalam konteks tertentu untuk tujuan tertentu dan menggunakan bahasa tertentu;

Literasi melibatkan kontinum pembelajaran yang diukur pada tingkat kemahiran yang berbeda.

Pertanyaan Pertama beserta jawaban simulasi aktivitas 2

"Ada pandangan yang mengemukakan bahwa tradisi bertutur yang telah mengakar, tumbuh dan berkembang di masyarakat adalah menghambat literasi membaca (reading literacy) utamanya minat, kegemaran dan budaya membaca masyarakat. Bagaimana menurut bapak dan ibu mengenai hal ini?"

REFERENSI JAWABANNYA
gambar jawaban simulasi aktivitas 2 literasi numerasi

Kelisanan dan literasi sering diurutkan dalam sebuah kontinuum yang linear. Seolah ketika sebuah bangsa memasuki era literasi atau memiliki perilaku literat, mereka telah menanggalkan budaya kelisanan (Dewayani, 2017; 16). Apabila ditelusuri lebih jauh, masyarakat zaman ‘kuno’ sebelum muncul huruf alfabet (abjad), mereka terbiasa mengemukakan ide maupun berkomunikasi secara lisan. Dari generasi ke generasi, karya intelektual diantara mereka diwariskan melalui tradisi dan budaya bertutur (orality). Kemampuan dan keterampilan retorika justru merupakan suatu kebanggaan dan keunggulan yang menggambarkan tingkat kecerdasan yang dimiliki. Orality bukan merupakan kebiasaan bangsa Indonesia saja tetapi juga bangsa Arab yang dikenal dengan ummi (tidak membiasakan membaca dan menulis) (al Alusi, t.t.; 38-48) dan bangsa Yunani dan Romawi. Ternyata tidak secara otomatis, suatu masyarakat yang terbiasa menggunakan lisan dan belum mengembangkan -secara formal- kebiasaan membaca dan menulis dapat dijuluki illiterate. Meski pengertian asal literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis (ability to read and write), sehingga karenanya masyarakat yang mempraktekkan membaca dan menulis dikenal sebagai literate society, namun bukan berarti mereka yang masih menggunakan bahasa lisan bisa dituding tidak literat. Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan literasi, sangat kompleks dan harus dipandang secara komprehensif (Harris, 1991, Thomas, 1992, Ong, 2002). Cara pandang ini yang harus kita pergunakan untuk memahami hubungan tradisi dan budaya lisan dengan literasi (dalam artian, membaca dan menulis) pada konteks masyarakat dan sosial budaya Indonesia sehingga tidak lagi muncul pendapat yang menyatakan bahwa rendahnya minat baca masyarakat kita disebabkan karena adanya kebiasaan bertutur (orality). Jika ditinjau dari keterampilan berbahasa (language skills), justru terdapat hubungan yang sangat erat antara kecakapan berbahasa lisan dengan kesiapan membaca. Pengetahuan mendalam yang menarik bagaimana murid-murid memperoleh pengetahuan awal mereka mengenai kerja literasi didapatkan dari proses-proses yang mana mereka mempelajari bahasa lisan (spoken language) (Ray dan Medwell, 1991;70-71). Semakin kaya murid-murid mendapatkan keluasan dan keragaman kosa kata, ujaran yang jelas dan lancar, kian melengkapi kekayaan bahasa mereka secara kognitif untuk mendukung kesiapan keterampilan membaca mereka. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Anderson, 1985; 21-22). Pengalaman-pengalaman cerita memiliki signifikansi yang tinggi di dalam kehidupan kita dan di dalam perkembangan literasi, terutama murid-murid mendapatkannya dari cerita-cerita. Narasi bahkan menjadi aktivitas bahasa paling tua dan paling dasar (Whitehead, 1990, 97-98).

Dari berbagai penelitian memperlihatkan bahwa secara umum berbahasa lisan turut melengkapi suatu latar belakang pengalaman yang menguntungkan serta keterampilan bagi pembelajaran membaca. Kemampuan itu meliputi ujaran yang jelas dan lancar, diksi yang luas, dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap dan sempurna jikalau diperlukan, perbedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan aneka peristiwa dalam urutan yang wajar. Sesungguhnya penumbuhan budaya keaksaraan adalah dimulai dari keluarga. Ini yang lazim disebut emerging literacy. Emergent literacy menganggap bahwa perkembangan bahasa lisan tidak merupakan prasyarat untuk perkembangan bahasa tulis. Keduanya justru berkembang serentak dan saling mendukung dan mempermudah. Penumbuhan budaya keaksaraan ini dapat dilakukan melalui percakapan orang tua dan murid, mendengarkan, dan bercerita (Akhadiah, 1998; 33-35).

Di rumah, murid-murid memperoleh konsep untuk memahami sesuatu, kejadian, pikiran dan perasaan serta kosa kata bahasa lisan untuk mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Mereka mendapatkan tata bahasa (grammar) dasar bahasa lisan (oral language). Banyak murid mempelajari sesuatu mengenai bentuk-bentuk cerita, bagaimana bertanya dan menjawab pertanyaan, dan bagaimana menerima sedikit ataupun kadang-kadang banyak berupa huruf-huruf dan kata-kata. Perkembangan awal pengetahuan mempersyaratkan membaca datang dari pengalaman berbicara dan belajar tentang dunia. Membaca tergantung pada pengetahuan yang luas. Pengalaman yang luas semata adalah tidak cukup. Ada cara yang mana orangtua berbicara ke murid-murid mereka tentang suatu pengalaman yang mempengaruhi pengetahuan apa yang murid-murid peroleh dari pengalaman itu dan kemampuan mereka berikutnya untuk menggambarkan perihal pengetahuan tersebut ketika membaca. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Suprajogo, 2020).

LIHAT JUGA :

🟥Jawaban SOAL KEDUA Simulasi aktivitas 2 SERI LITERASI NUMERASI

🟥Jawaban SOAL KETIGA Simulasi aktivitas 2 SERI LITERASI NUMERASI

🟥Jawaban SOAL KE-4 Simulasi aktivitas 2 SERI LITERASI NUMERASI

🟥Jawaban SOAL KE-5 Simulasi aktivitas 2 SERI LITERASI NUMERASI

🟥Jawaban SOAL KE-6 Simulasi aktivitas 2 SERI LITERASI NUMERASI

🟥Jawaban tanggapan Video Simulasi Aktivitas 4

🟥jawaban Miskonsepsi Perkembangan Literasi 2

🟥jawaban Miskonsepsi Perkembangan Numerasi

🟥jawaban hikma pengimbasan simulasi aktivitas 3

🟥jawaban Tes Awal seri Literasi dan Numerasi

🟥jawaban Tes AKHIR seri Literasi dan Numerasi

sumber : guru belajar dan berbagi seri literasi numerasi

Terima kasih telah berkunjung dan membaca informasi di blog guru-id.com, Semoga bermanfaat dan memberikan tambahan wawasan. salam edukasi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel